Tuesday, 18 July 2017

Makalah aktualisasi pemikiran al-ghazali

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemikiran al-Ghazali dalam bidang pendidikan islam ini menjadi warisan khazanah intelektual yang tak kalah penting dengan bidang lain yang digelutinya. Lalu, apa saja pemikiran Sang hujjah al-Islam (bukti kebenaran islam) dalam pendidikan islam. Makalah ini mencoba mengungkap pandangan-pandangan, pemikiran dan konsep pendidikan islam menurut Zayn al-Din, Imam al-Ghazali.
            Tidak berlebihan jika dalam perjalanan sejarah pendidikai Islam nama Al-Ghazali selalu menjadi rujukan para pakar pendidikan. Al-Ghazali adalah seorang pakar pendidikan yang luas pemikirannya. Selain sebagai seorang pemikir pendidikan ia juga sebagai praktisi yang berkecimpung secara langsung. Pengalamannya sebagai guru besar di Madrasah Nidhamiyah mengantarkan ia terpilih menjadi Rektor Universilas Nidhamiyah di Bagdad. Bertahun-tahun lamanya ia mendidik dan mengajar, ia begitu cerdas dan seorang pemikir ulung. Al Ghazali tidak pernah mengklaim sesuatu pendidikan dari dirinya sendiri meskipun sebenamya itu lahir dari dirinya.Banyak para pakar pendidikan modem yang mengambil teori dari Al-Ghazali.
1.2. Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang Aktualisasi Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan !



BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  Biografi Al-Ghazali
            Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad abu Hamid Al-Ghazali/Ghozzali. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di desa Ghozalah, Thusia, wilayah Khurosan, Persia atau sekarang yang lebih dikenal negara Iran.
            Latar belakang pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Qur'an pada ayahnya sendiri. Sepeninggal ayahnya, AI Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad ar-Razikani, seorang sufi besar di Thusia. Padanya Al-Ghazali belajar ilmu fiqih, sejarah para wali dan kehidupan spiritualnya, menghafal syair-syair tentang mahbbah kepada Allah, Al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian ia dimasukkan ke sebuah sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di sini gurunya adalah Yusuf an-Nassaj, juga seorang sufi. Setelah tamat, la melanjutkan pelajarannya ke kota Jurjan yang ketika itu juga menjadi pusat kegiatan ilmiah. Beberapa tahun kemudian, ia pergi ke Nisabur dan di sana memasuki madrasah Nizamiah yang dipimpin oleh ulama besar, Imam al Haramain Al Juwaini, salah seorang tokoh aliran Asy’ariyah. Setelah Al Juwaini wafat (1085) Al Ghazali meninggalkan Nisabur menuju Muaskar untuk memenuhi undangan Perdana Mentri Nizam Al Mulk, pendiri Madrasah Nizamiah. Karena kepandaian Al Ghazali menyebabkan Perdana Mentri Nizam Al Mulk mengangkatnya menjadi guru besar pada Madrasah Nizamiyah di Baghdad tahun 1090 M. Setelah lima tahun (1090 — 1095) memangku jabatan itu, ia mengundurkan diri.
            Pada tahun 1095M Al Ghazali meninggalkan profesinya sebagai guru, pergi mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Selama sepuluh tahun ia menjalani hidup sebagai seorang sufi. Kemudian ia mengurung diri dalam masjid Damaskus. Di sinilah ia menulis kitabnya Ihya' Ulumuddin, sebuah kitab yang merupakan paduan antara fikih dan tasawuf. Pengaruh buku ini menyelimuti seluruh dunia Islam dan masih terasa kuat sampai sekarang. Pada tahun 1105M, Al Ghazali kembali kepada tugasnya semula, mengajar di Madrasah Nizamiyah memenuhi panggilan Fakhr al Mulk, putra Nizam al Mulk akan tetapi tugas mengajar ini tidak lama dijalankannya. Ia kembali ke Tus, kota kelahirannya. Di sana ia mendirikan sebuah halaqoh (sekolah khusus untuk calon sufi) yang diasuhnya sampai ia wafat (1111).
Adapun beberapa karya Al-Ghazali antara lain:
1)      Tahafut al-falasafi (tujuan-tujuan para filsuf) 488 H, karya kalam al-Ghazali yang tertuju kepada para filosof dan pengagumnya yang bertentangan dengan akidah islam, secara rasional
2)      Fadha’ih al-bathiniyyat wa fadha’il al-mustazhhiriyyah (488 H.), karya kalam al-ghazali yang tertuju kepada golongan batiniyyah, untuk mengoreksi paham mereka yang berbeda dan bertentangan dengan akidah Islam yang benar
3)      Al-iqtishad fi al-i’tiqad (488 H.), karya kalam yang terbesar dari al-Ghazali untuk mempertahankan akidah Ahlusunnah secara rasional
4)      Al-risalat al-qudsiyyah (488-489 H.), karya kalam al-Ghazali yang disajikan secara ringan untuk mempertahankan akidah Ahlusunnah
5)      Qawa’id al-‘aqa’id (488-489 H.), karya teologi al-Ghazali yang mendeskripsikan materi akidah yang benar menurut paham Ahlusunnah. Karya ini yang mencakup juga karya nomor 4 di atas, kini termasuk dalam kitab ihya’ ulum al-din
6)      ihya’ ulum al-din ( 489 dan 495 H.), karya tulis al-Ghazali yang terbesar, yang memuat ide sentral al-Ghazali untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama islam
7)      al-maqashad al-asna: syarh asma’allah al-husna ( 490-495 H.), memuat pembahasan al-ghazali tentang nama-nama Tuhan secara komprehensif, masalah-masalah teologi dan sufisme
8)      fayshal al-tafriqat bayna al-islam wa al-zandaqah (497 H.), berisi konsepsi al-Ghazali tentang toleransi dalam bermadzhab teologi. Juga berisi tentang norma-norma yang dibuatnya untuk memecahkan soal pertentangan antara teks wahyu dan akal dengan cara pentakwilan yang terstruktur
9)      kitab al-arba’in fi ushul al-din (499 H.), memuat bahasan tentang teologi pada sepuluh pokok pertama, dan ditutup dengan suatu penjelasan mengenai hubungan akidah dan makrifah
10)  qanun al-ta’wil (sebelum 500 H.), berisi aturan-aturan pentakwilan ayat-ayat al-qur’an dan hadis-hadis nabi secara rasional
11)  al-munqidz min al-dhalal (501-502 H.), memuat riwayat perkemabangan intelektual dan spiritual pribadi al-Ghazali, penilaiannya terhadapa metode para pemburu kebenaran, macam-macam ilmu pengetahuan dan epistimologinya
12)  iljam al-awamm ‘an ‘ilm al-kalam (504-505 H.), karya teologi al-Ghazali yang terakhir.
13)  Dan lain-lainnya.
2.2. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
            Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya, menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan. Dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
            Al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Walaupun disisi lain Al-Ghazali juga menyebutkan bahwasanya ada ilmu yang deketahui  melalui ilham. Ilham disini adalah suatu cara untuk menangkap ilmu secara langsung sebagai imbangan dari cara menangkap ilmu dengan cara berpikir. Kata al-ilham mengandung makna mengajari secara rahasia dan langsung. Al-Ghazali juga menyebutnya dengan istilah al-ta’alum al-rabbani, dan ilmu yang diperoleh disebut sebagai al-‘ilm al-ladunni. Tidak diusahakan disini adalah tidak diperoleh melalui perantara, seperti melalui relasi konsep-konsep. Untuk dapat memperoleh ilmu dengan jalan ilham manusia harus berusaha membuat kondisi, sehingga jiwanya memenuhi syarat untuk menerima ilham, yaitu dengan membersihkan jiwa secara menyeluruh dari selain Tuhan dan memenuhi jiwa dengan mengingat Tuhan.
            Pandangan al-Ghazali tentang pendidikan meliputi pandangannya akan keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang memilikinya, pembagian ilmu, etika belajar dan mengajar. Namun dalam penjelasan berikutnya akan disajikan sebagaimana unsur-unsur dalam pendidikan yang ada saat ini.
            Pada dasarnya Al-Ghazali sendiri belum memberikan definisi yang jelas mengenai pendidikan. Namun, jika dilihat dari unsur-unsur pendidikan dapatlah diambil dari beberapa pernyataan yang selanjutnya disusun menjadi pengertian dari pendidikan  berikut ini: 
“ sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malikat tinggi ...”
“… Dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang.”
            Pada kutipan pertama, kata ‘hasil’ menggambarkan proses, kata ‘mendekatkan diri kepada Allah’ menunjukkan tujuan, dan kata ‘ilmu’ menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan kedua dijelaskan perihal sarana penyampaian ilmu yaitu melalui pengajaran.
            Mengenai keberlangsungan proses pendidikan, al-Ghazali menerangkan bahwa batas awal berlangsungnya pendidikan adalah sejak bersatunya sperma dan ovum sebagai awal kejadian manusia. Adapun mengenai batas akhir pendidikan adalah tidak ada karena selama hayatnya manusia dituntut untuk melibatkan diri dalam pendidikan sehingga menjadi insan kamil. Ditambahkan pula bahwa pendidikan dapat dipahami sebagai satu-satunya jalan untuk menyebarluaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia, dan menanamkan nilai kemanusiaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemakmuran dan kejayaan suatu bangsa sangat bergantung pada sejauhmana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Selain itu, pengajaran dan pendidikan harus dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan perkembangan psikis dan fisik anak.
            Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan.
A. Tujuan Pendidikan
            Menurut al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insan, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia dunia dan akhirat.
            Al-Ghazali berkata: “Hasil dari ilmu sesungguhnya ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, dan menghubungkan diri dengan para malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah kebesaran, pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri.”
            Menurut al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu sendiri tidak akan dapat diperoleh manusia kecuali melalui pengajaran.
            Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
a)      Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b)      Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c)      Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d)     Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e)      Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
            Dengan demikian, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Selanjutnya, tujuan pendidikan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Tujuan Jangka Panjang
            Tujuan pendidikan jangka panjang ialah pendekatan diri kepada Allah. Pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada Tuhan Pencipta alam.
2. Tujuan jangka Pendek
            Menurut al-Ghazali, tujuan pendidikan jangka pendek ialah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemapuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pengiriman para pelajar dan mahasiswa ke Negara lain untuk memperoleh spesifikasi ilmu-ilmu kealaman demi kemajuan Negara tersebut, menurut konsep ini, tepat sekali. Sebagai implikasi untuk menegakkan urusan keduniaan atau melaksanakan tugas-tugas keakhiratan tidak harus dan tidak terbatas kepada negara-negara Islam, akan tetapi boleh di mana saja, bahkan di negara anti Islam sekalipun.
Berhubung dengan tujuan pendidikan jangka pendek, yakni terwujudnya kemampuan manusia melakukan tugas-tugas keduniaan dengan baik, al-Ghazali menyinggung masalah pangkat, kedudukan, kemegahan, popularitas, dan kemuliaan dunia secara naluri. Semua itu bukan menjadi tujuan dasar seseorang yang melibatkan diri dalam dunia pendidikan. Seorang penuntut, seorang yang terdaftar sebagai siswa atau mahasiswa, dosen, guru dan sebaginya, mereka akan memperoleh derajat, pangkat, dan segala macam kemuliaan lain yang berupa pujian kepopularitasan, dan sanjungan manakala ia benar-benar mempunyai motivasi hendak meningkatkan kualitas dirinya melalui ilmu pengetahuan; dan ilmu pengetahuan itu untuk diamalkan. Karena itulah, al-Ghazali menegaskan bahwa langkah awal seseorang dalam belajar adalah untuk mensucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, dan motivasi pertama adalah untuk menghidupkan syari’at dan misi Rasulullah, bukan untuk mencari kemegahan dunia, mengejar pangkat, atau popularitas.
            Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua sebagaiman disampaikan Fathiyah Hasan Sulaiman yang dikutib Suwito dan juga Abuddin Nata, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT, kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
            Akan tetapi, disamping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan islam, tampak pula cenderung pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di ahkirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliau termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kenikmatan yang diperoleh manusia padanya. Itulah yang akan membentuk manusia shalih, yaitu manusia yang mempunyai kemampuan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya kepada manusia sebagai hamba-Nya.
B. Kurikulum
            Kurikulum dalam arti yang sempit, yaitu seperangkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Pandangan al-ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangan mengenai ilmu pengetahuan. Menurut Al-Ghazali, secara garis besar ilmu dibagi menjadi dua bagian yaitu ilmu mu’amalah dan ilmu mukasyafah. Ilmu mu’amalah adalah pengetahuan yang dapat ditulis secara matematis dan berhubungan dengan kata-kata yang dapat diterima dan dipelajari orang lain. Ilmu mukasyafah adalah pengetahuan yang abstrak yang berada di alam ide, pengetahuan ini sulit dilukiskan denganlisan atau tulisan, tidak terjangau oleh panca indera bahkan tidak mampu difikirkan dengan akal.
Selanjutnya Fathiyah Hasan Sulaiman membagi ilmu kedalam beberapa corak:
1) Berdasarkan pembidangan ilmu dibagi menjadi dua bidang:
a. Ilmu syari’at sebagai ilmu terpuji, terdiri atas:
·         Ilmu ushul (ilmu pokok): ilmu al-qur’an, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma
·         Ilmu furu’ (cabang): fiqh, ilmu hal ihwal hati dan akhlak.
·         Ilmu pengantar (mukaddimah) ilmu bahasa dan gramatika.
·         Ilmu pelengkap (mutammimah).
b. Ilmu bukan syari’ah terdiri atas:
·         Ilmu terpuji : ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
·         Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan); kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.
·         Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari filsafat.
2) Berdasarkan objek, ilmu dibagi menjadi tiga kelompok.
a.    Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib.
b.    Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak, namun kalau banyak lebih terpuji, seperti ilmu agama dan tentang ilmu beribadat.
c.    Ilmu pengetahuan yang kadar tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela, seperti dari sifat naturalisme.
3) Berdasarkan setatus hukum mempelajari yang dikaitkan dengan nilai gunanya dan dapat digolongkan kepada:
a.    fardu ‘ain, yang wajib dipelajari oleh setiap individu, ilmu agama dan cabang-cabangnya.
b.    fardu kifayah, ilmu ini tidak diwajibkan kepada setiap muslim, tetapi harus ada diantara orang muslim yang mempelajarinya. Dan jika tidak seorangpun diantara kaum muslimin dan kelompoknya mempelajari ilmu dimaksud, maka mereka akan berdosa. Contohnya; ilmu kedokteran, hitung, pertanian dll.
            Pembagian ini bukan berarti terjadi pembatasan dalam menuntut ilmu pengetahuan, hanya sebagai identifikasi dalam pengenalan berbagai macam disiplin yang ada.
C. Pendidik
            Dalam proses pembelajaran, menurutnya pendidik merupakan suatu keharusan. Eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan suatu proses pendidikan anak. Pendidik dianggap sebagai maslikul kabir, bahkan dapat dikatakan bahwa pada satu sisi, pendidik mempunyai jasa lebih dibandingkan kedua orang tuanya. Sejalan dengan hal itu beliau berpendapat bahwa pendidik secara umum hendaklah cerdas dan sempurna intelegensinya, terpuji akhlak dan jasmaninya. Dengan kesempurnaan intelegensi dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlak yang baik dapat menjadi contoh dan teladan bagi peserta didik, sedangkan dengan sehat jasmani dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan peserta didik.
D. Peserta Didik
            Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Dalam hal pendidikan, orang (manusia) yang bergantung disebut murid/peserta didik, sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru/pendidik. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.
            Dalam menjelaskan peserta didik Al-Ghazali menggunakan dua kata yakni, Al-Muta’allim (pelajar) dan Tholib Al-Ilmi (penuntut ilmu pengetahuan). Namun, bila kita melihat peserta didik secara makna luas yang dimaksud dengan peserta didik adalah seluruh manusia mulai dari awal konsepsi hingga manusia usia lanjut. Selanjutnya, karena dalam pembahasan ini hanya terkonsentrasi pada wilayah pendidikan formal maka bahasa peserta didik terbebani hanya bagi mereka yang melaksanakan pendidikan di lembaga pendidikan sekolah.
            Pemikiran Al-Ghazali yang sangat luas dan memadukan antara dua komponen keilmuan, sehingga menghantarkan pemahaman bahwa konsep peserta didik menurutnya peserta didik adalah manusia yang fitrah. Konsepnya berlandaskan pemahamannya terhadap menafsirkan firman Allah pada surat Ar-Rum ayat 30:
Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
            Adapun kaitannya terhadap peserta didik, bahwa fitrah manusia mengandung pengertian yang sangat luas. Al-Ghazali menjelaskan klasifikasi fitrah dalam beberapa pokok sebagai berikut:
·         Beriman kepada Allah.
·         Kemampuan dan kesedian untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
·         Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berfikir.
·         Dorongan biologis yang berupa syahwat dan ghodlob atau insting.
·         Kekuatan lain lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan disempurnakan.
            Dengan demikian konsep fitrah yang diletakkan Al-Ghazali dalam memahami peserta didik masih memiliki relevansi dengan dunia pendidikan modern dalam hal sifat-sifat pembawaan, keturunan dan insting manusia. Hanya saja, dalam hal ini pandangan Al-Ghazali lebih terkonsentrasi pada nilai moral, belajar merupakan salah satu bagian dari ibadah guna mencapai derajat seorang hamba yang tetap dekat (taqarrub) dengan khaliknya. Maka dari itu, seorang peserta didik harus berusaha mensucikan jiwanya dari akhlak yang tercela.
Selanjutnya syarat yang mendasar bagi peserta didik seperti diatas mendorong kepada terwujudnya syarat dan sifat lain sebagai seorang peserta didik, syarat- syarat tersebut antara lain:
1)      Peserta didik harus memuliakan pendidik dan bersikap rendah hati atau tidak takabur. Hal ini sejalan dengan pendapat al- ghazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan yang tinggi dan bimbingan dari pendidik.
2)      Peserta didik harus merasa satu bangunan dengan peserta didik lainnya dan sebagai satu bangunan maka peserta didik harus saling menyayangi dan menolong serta berkasih sayang sesamanya.
3)      Peserta didik harus menjauhi diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran
4)      Peserta didik harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat, melainkan ia harus mempelajari berbagai ilmu lainnya dan berupaya sungguh- sungguh mempelajarinya sehingga tujuan dari setiap ilmu tesebut tercapai.
            Abidin ibnu Rusn, dalam bukunya menjelaskan syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi oleh peserta didik dengan mengacu dari pemahaman pemikiran Al-Ghazali sebagai berikut:
1)      Belajar merupakan proses jiwa.
2)      Belajar menuntut konsentrasi
3)      Belajar harus didasari sikap tawadhu’
4)      Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya.
5)      Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang di pelajari
6)      Belajar secara bertahap
7)      Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah
            Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yang hal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
E. Metode Dan Media
            Mengenai metode dan media yang dipergunakan dalam proses pembelajaran, menurut al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajaran.
            Metode yang bisa digunakan, misalnya ia menggunakan metode mujahadah dan riyadhah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan dan nasihat, dan tidak kalah pentingnya adalah dengan keteladanan. Sedangkan media/alat beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak mulia.
2.3. Aktualisasi Pemikiran Al-Ghazal Tentang Pendidikan
            Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan khususnya relah tertulis dan tersusun dengan lengkap walaupun secara global telah tercantum dalam karya monumentalnya ‘ihya’ ulumuddin”. Secara aktual, konsep Al-Ghazali tentang pendidikan telah dilandasi oleh pemikirannya terhadap manusia yang fitrahnya tidak akan berubah sehingga konsepnya selalu actual dan tidak akan pernah usang. Dan konsep tersebut merupakan jawaban yang dibutuhkan oleh pendidikan dewasa ini.
            Sistem pendidikan Al-Ghazali meruoakan sistem pendidikan yang sedang dicita-citakan bagi perbaikan sistem yang sedang rusak. Pandangnya terhadap ilmu menunjukkan bukti secara integral dari perpaduan sistem pendidikan dewasa ini, yakni sistem islam dan sekuler, maka pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan ini dapat diterapkan dalam dunia pendidikan. Sekarang akan mampu mengahasilkan insan-insan, berilmu penegtahuan yang tinggi dan juga beriman, kreatif dan terampil jugaberakhlak mulia, sukses dunia juga bebahagia di akhirat. Usaha menampilakan pendidikan Al-Ghazali dan mengembangkannya dalam dunia pendidikan dewasa ini merupkan sustu keharusan bagi ilmuwan, filosof maupun cendekiawan muslim. Terutama bagi mereka yang lansung bergerak di bidang pendidikan. Tetapi hal ini tergantung padaketqjaman wawsan mereka terhadap islam motivasinya, juga demi islam, bukan demi kepentingan materi, egois, atau tujuan nasional dan lain-lain juga kesadaran mereka akan tantangan-tantangan yang dihadapi dunia pendidikan dewasa ini, serta kesadaran mereka terhadap kemampuan Al-Ghazali dalam menjawab tantangan- tantangan tersebut melalui konsep pendidikannya.
            Selain itu Al-Ghazali juga memaparkan empat macam pendidikan yakni pendidikan akal. Agama, akhlak dan jasmani. Dari situ pendidikan akhlaklah yang menjadi puncak atau intinya. Artinya keempat macam pendidikan yang merupakan kesatuan dalam sistem pendidikan islam, pendidikan akhlaklah sebagai jiwanya. Pendidikan inilah yang sebenarnya menjadi tujuan dari seluruh pendidikan yang ada. Dari sinilah para guru muslim sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengantar bukanlah untuk memenuhi otak murid dengan berbagai ilmu penegtahuan semata mata tanapa mengesampinkan itu maka pendidikan akhlaklah manusialah yang dapat menentukan hancur atau utuhnya suatu bangsa. Al-Syauqi dalam sya’irnya menyatakan :
suatu bangssa itu tetap tegak selama akhlaknya tetap baik. Bila akhlak mereka telah rusak, maka sirnalah bangsa itu”. (athiyah Al-Abrasyi, 1990: 104).



BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
            Pendidikan merupakan jalan utama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendidikan yang diharapkan Al-Ghazali, tidak hanya bersifat ukhrowi, bahkan ia mengatakan dunia merupakan manifestasi menuju ke masa depan. Berangkat dari pemahaman tersebut dapat disimpulkan juga konsep peserta didik. Menurutnya, peserta didik sebaiknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Belajar merupakan proses jiwa
2)      Belajar menuntut konsentrasi
3)      Belajar harus didasari sikap tawadhu’
4)      Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya.
5)      Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang di pelajari
6)      Belajar secara bertahap
7)      Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah.
            Pemikiran pendidikan al-Ghazali sejalan dengan filsafatnya yang religius dan sufistik. Dia merumuskan tujuan pendidikan secara jelas sesuai dengan filsafatnya, kemudian menerangkan pengetahuan-pengetahuan yang perlu diajarkan kepada anak yang sedang tumbuh agar dapat mencapai tujuan tersebut. Diterangkan pula bagaimana seharusnya hubungan antara guru dan murid, serta prinsip-prinsip yang harus dipegangi seorang guru dalam menunaikan tugasnya. Di samping ia telah merumuskan metode mengajar dengan garis amat tegas. Dengan itu, al-Ghazali telah meletakkan sistem pendidikan yang sempurna yang ditentukan dan dirumuskan atas dasar filsafat yang dianut.




DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi. tt. Ensiklopedi Islam Jilid 2. Jakarta: Van Hoeve
Jahja, H.M Zurkani. 2009. Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nasution, Muhammad Yasir. 2002. Manusia Menurut al-Ghazali. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Nata, Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Rusn, Abidin Ibnu. 2009. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suwito dan Fauzan. 2003. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa



            

No comments:

Post a Comment

Makalah Tari Likok Pulo Aceh

BAB I PENDAHULUAN Tari Likok Pulo Aceh Asal - Usul Dan Fungsinya  - Tari Likok Pulo dari berdasarkan Asal - Usulnya tari ini dicipta...