BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pemikiran
al-Ghazali dalam bidang pendidikan islam ini menjadi warisan khazanah
intelektual yang tak kalah penting dengan bidang lain yang digelutinya. Lalu,
apa saja pemikiran Sang hujjah al-Islam (bukti kebenaran islam) dalam
pendidikan islam. Makalah ini mencoba mengungkap pandangan-pandangan, pemikiran
dan konsep pendidikan islam menurut Zayn al-Din, Imam al-Ghazali.
Tidak
berlebihan jika dalam perjalanan sejarah pendidikai Islam nama Al-Ghazali
selalu menjadi rujukan para pakar pendidikan. Al-Ghazali adalah seorang pakar
pendidikan yang luas pemikirannya. Selain sebagai seorang pemikir pendidikan ia
juga sebagai praktisi yang berkecimpung secara langsung. Pengalamannya sebagai
guru besar di Madrasah Nidhamiyah mengantarkan ia terpilih menjadi Rektor
Universilas Nidhamiyah di Bagdad. Bertahun-tahun lamanya ia mendidik dan
mengajar, ia begitu cerdas dan seorang pemikir ulung. Al Ghazali tidak pernah
mengklaim sesuatu pendidikan dari dirinya sendiri meskipun sebenamya itu lahir
dari dirinya.Banyak para pakar pendidikan modem yang mengambil teori dari
Al-Ghazali.
1.2. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang
Aktualisasi Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan !
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Biografi
Al-Ghazali
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad abu Hamid
Al-Ghazali/Ghozzali. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di desa
Ghozalah, Thusia, wilayah Khurosan, Persia atau sekarang yang lebih dikenal
negara Iran.
Latar
belakang pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Qur'an pada ayahnya sendiri.
Sepeninggal ayahnya, AI Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad ar-Razikani,
seorang sufi besar di Thusia. Padanya Al-Ghazali belajar ilmu fiqih, sejarah
para wali dan kehidupan spiritualnya, menghafal syair-syair tentang mahbbah
kepada Allah, Al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian ia dimasukkan ke sebuah
sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di sini gurunya adalah
Yusuf an-Nassaj, juga seorang sufi. Setelah tamat, la melanjutkan pelajarannya
ke kota Jurjan yang ketika itu juga menjadi pusat kegiatan ilmiah. Beberapa
tahun kemudian, ia pergi ke Nisabur dan di sana memasuki madrasah Nizamiah yang
dipimpin oleh ulama besar, Imam al Haramain Al Juwaini, salah seorang tokoh
aliran Asy’ariyah. Setelah Al Juwaini wafat (1085) Al Ghazali meninggalkan
Nisabur menuju Muaskar untuk memenuhi undangan Perdana Mentri Nizam Al Mulk,
pendiri Madrasah Nizamiah. Karena kepandaian Al Ghazali menyebabkan Perdana
Mentri Nizam Al Mulk mengangkatnya menjadi guru besar pada Madrasah Nizamiyah
di Baghdad tahun 1090 M. Setelah lima tahun (1090 — 1095) memangku jabatan itu,
ia mengundurkan diri.
Pada
tahun 1095M Al Ghazali meninggalkan profesinya sebagai guru, pergi mengembara
dari satu tempat ke tempat lain. Selama sepuluh tahun ia menjalani hidup
sebagai seorang sufi. Kemudian ia mengurung diri dalam masjid Damaskus. Di
sinilah ia menulis kitabnya Ihya' Ulumuddin, sebuah kitab yang merupakan paduan
antara fikih dan tasawuf. Pengaruh buku ini menyelimuti seluruh dunia Islam dan
masih terasa kuat sampai sekarang. Pada tahun 1105M, Al Ghazali kembali kepada
tugasnya semula, mengajar di Madrasah Nizamiyah memenuhi panggilan Fakhr al
Mulk, putra Nizam al Mulk akan tetapi tugas mengajar ini tidak lama
dijalankannya. Ia kembali ke Tus, kota kelahirannya. Di sana ia mendirikan
sebuah halaqoh (sekolah khusus untuk calon sufi) yang diasuhnya sampai ia wafat
(1111).
Adapun
beberapa karya Al-Ghazali antara lain:
1) Tahafut
al-falasafi (tujuan-tujuan para filsuf) 488 H, karya kalam al-Ghazali yang
tertuju kepada para filosof dan pengagumnya yang bertentangan dengan akidah
islam, secara rasional
2) Fadha’ih
al-bathiniyyat wa fadha’il al-mustazhhiriyyah (488 H.), karya kalam al-ghazali
yang tertuju kepada golongan batiniyyah, untuk mengoreksi paham mereka yang
berbeda dan bertentangan dengan akidah Islam yang benar
3) Al-iqtishad
fi al-i’tiqad (488 H.), karya kalam yang terbesar dari al-Ghazali untuk
mempertahankan akidah Ahlusunnah secara rasional
4) Al-risalat
al-qudsiyyah (488-489 H.), karya kalam al-Ghazali yang disajikan secara ringan
untuk mempertahankan akidah Ahlusunnah
5) Qawa’id
al-‘aqa’id (488-489 H.), karya teologi al-Ghazali yang mendeskripsikan materi
akidah yang benar menurut paham Ahlusunnah. Karya ini yang mencakup juga karya
nomor 4 di atas, kini termasuk dalam kitab ihya’ ulum al-din
6) ihya’
ulum al-din ( 489 dan 495 H.), karya tulis al-Ghazali yang terbesar, yang
memuat ide sentral al-Ghazali untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama islam
7) al-maqashad
al-asna: syarh asma’allah al-husna ( 490-495 H.), memuat pembahasan al-ghazali
tentang nama-nama Tuhan secara komprehensif, masalah-masalah teologi dan
sufisme
8) fayshal
al-tafriqat bayna al-islam wa al-zandaqah (497 H.), berisi konsepsi al-Ghazali
tentang toleransi dalam bermadzhab teologi. Juga berisi tentang norma-norma
yang dibuatnya untuk memecahkan soal pertentangan antara teks wahyu dan akal
dengan cara pentakwilan yang terstruktur
9) kitab
al-arba’in fi ushul al-din (499 H.), memuat bahasan tentang teologi pada
sepuluh pokok pertama, dan ditutup dengan suatu penjelasan mengenai hubungan
akidah dan makrifah
10) qanun
al-ta’wil (sebelum 500 H.), berisi aturan-aturan pentakwilan ayat-ayat
al-qur’an dan hadis-hadis nabi secara rasional
11) al-munqidz
min al-dhalal (501-502 H.), memuat riwayat perkemabangan intelektual dan
spiritual pribadi al-Ghazali, penilaiannya terhadapa metode para pemburu
kebenaran, macam-macam ilmu pengetahuan dan epistimologinya
12) iljam
al-awamm ‘an ‘ilm al-kalam (504-505 H.), karya teologi al-Ghazali yang
terakhir.
13) Dan
lain-lainnya.
2.2. Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Al-Ghazali
adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran
dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah
keutamaan dan melebihi segala-galanya, menguasai ilmu baginya termasuk tujuan
pendidikan. Dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu
merupakan jalan yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan di akhirat serta
sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Al-Ghazali
menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa
kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang
disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran
itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan kepada
Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Walaupun disisi lain Al-Ghazali
juga menyebutkan bahwasanya ada ilmu yang deketahui melalui ilham. Ilham
disini adalah suatu cara untuk menangkap ilmu secara langsung sebagai imbangan
dari cara menangkap ilmu dengan cara berpikir. Kata al-ilham mengandung makna
mengajari secara rahasia dan langsung. Al-Ghazali juga menyebutnya dengan
istilah al-ta’alum al-rabbani, dan ilmu yang diperoleh disebut sebagai al-‘ilm
al-ladunni. Tidak diusahakan disini adalah tidak diperoleh melalui perantara,
seperti melalui relasi konsep-konsep. Untuk dapat memperoleh ilmu dengan jalan
ilham manusia harus berusaha membuat kondisi, sehingga jiwanya memenuhi syarat
untuk menerima ilham, yaitu dengan membersihkan jiwa secara menyeluruh dari
selain Tuhan dan memenuhi jiwa dengan mengingat Tuhan.
Pandangan
al-Ghazali tentang pendidikan meliputi pandangannya akan keutamaan ilmu dan
keutamaan orang yang memilikinya, pembagian ilmu, etika belajar dan mengajar.
Namun dalam penjelasan berikutnya akan disajikan sebagaimana unsur-unsur dalam
pendidikan yang ada saat ini.
Pada
dasarnya Al-Ghazali sendiri belum memberikan definisi yang jelas mengenai
pendidikan. Namun, jika dilihat dari unsur-unsur pendidikan dapatlah diambil
dari beberapa pernyataan yang selanjutnya disusun menjadi pengertian dari
pendidikan berikut ini:
“ sesungguhnya hasil ilmu itu ialah
mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan
ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malikat tinggi ...”
“… Dan
ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan
bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang.”
Pada kutipan pertama, kata ‘hasil’ menggambarkan proses,
kata ‘mendekatkan diri kepada Allah’ menunjukkan tujuan, dan kata ‘ilmu’
menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan kedua dijelaskan perihal sarana
penyampaian ilmu yaitu melalui pengajaran.
Mengenai keberlangsungan proses pendidikan, al-Ghazali
menerangkan bahwa batas awal berlangsungnya pendidikan adalah sejak bersatunya
sperma dan ovum sebagai awal kejadian manusia. Adapun mengenai batas akhir
pendidikan adalah tidak ada karena selama hayatnya manusia dituntut untuk
melibatkan diri dalam pendidikan sehingga menjadi insan kamil. Ditambahkan pula
bahwa pendidikan dapat dipahami sebagai satu-satunya jalan untuk
menyebarluaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia, dan
menanamkan nilai kemanusiaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemakmuran dan
kejayaan suatu bangsa sangat bergantung pada sejauhmana keberhasilan dalam
bidang pendidikan dan pengajaran. Selain itu, pengajaran dan pendidikan harus
dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan perkembangan psikis dan fisik
anak.
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat
diketahui dengan cara memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai
aspek yang berkaitan dengan pendidikan.
A.
Tujuan Pendidikan
Menurut
al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pendekatan diri
kepada Allah dan kesempurnaan insan, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan
hidupnya yaitu bahagia dunia dan akhirat.
Al-Ghazali
berkata: “Hasil dari ilmu
sesungguhnya ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, dan
menghubungkan diri dengan para malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam
arwah, itu semua adalah kebesaran, pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan
penghormatan secara naluri.”
Menurut
al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang
dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan itu sendiri tidak akan dapat diperoleh manusia kecuali melalui
pengajaran.
Mengingat
pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang
tujuan pendidikan, yaitu :
a) Mendekatkan
diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri
melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b) Menggali
dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c) Mewujudkan
profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d) Membentuk
manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat
tercela.
e) Mengembangkan
sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Dengan
demikian, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya
suatu tujuan. Selanjutnya, tujuan pendidikan tersebut dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu:
1. Tujuan Jangka Panjang
Tujuan
pendidikan jangka panjang ialah pendekatan diri kepada Allah. Pendidikan dalam
prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan
diri kepada Tuhan Pencipta alam.
2. Tujuan jangka Pendek
Menurut
al-Ghazali, tujuan pendidikan jangka pendek ialah diraihnya profesi manusia
sesuai dengan bakat dan kemapuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia
mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pengiriman para pelajar dan
mahasiswa ke Negara lain untuk memperoleh spesifikasi ilmu-ilmu kealaman demi
kemajuan Negara tersebut, menurut konsep ini, tepat sekali. Sebagai implikasi
untuk menegakkan urusan keduniaan atau melaksanakan tugas-tugas keakhiratan
tidak harus dan tidak terbatas kepada negara-negara Islam, akan tetapi boleh di
mana saja, bahkan di negara anti Islam sekalipun.
Berhubung
dengan tujuan pendidikan jangka pendek, yakni terwujudnya kemampuan manusia
melakukan tugas-tugas keduniaan dengan baik, al-Ghazali menyinggung masalah
pangkat, kedudukan, kemegahan, popularitas, dan kemuliaan dunia secara naluri.
Semua itu bukan menjadi tujuan dasar seseorang yang melibatkan diri dalam dunia
pendidikan. Seorang penuntut, seorang yang terdaftar sebagai siswa atau
mahasiswa, dosen, guru dan sebaginya, mereka akan memperoleh derajat, pangkat,
dan segala macam kemuliaan lain yang berupa pujian kepopularitasan, dan
sanjungan manakala ia benar-benar mempunyai motivasi hendak meningkatkan
kualitas dirinya melalui ilmu pengetahuan; dan ilmu pengetahuan itu untuk
diamalkan. Karena itulah, al-Ghazali menegaskan bahwa langkah awal seseorang
dalam belajar adalah untuk mensucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat-sifat
tercela, dan motivasi pertama adalah untuk menghidupkan syari’at dan misi
Rasulullah, bukan untuk mencari kemegahan dunia, mengejar pangkat, atau
popularitas.
Seorang
guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar
filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek
kurikulum, metode, guru dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran
Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai
melalui pendidikan ada dua sebagaiman disampaikan Fathiyah Hasan Sulaiman yang
dikutib Suwito dan juga Abuddin Nata, pertama: tercapainya kesempurnaan insani
yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT, kedua, kesempurnaan insani
yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau
bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan
tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius
dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
Akan
tetapi, disamping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan
islam, tampak pula cenderung pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut
sejalan dengan filsafat Al-Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran
pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai
pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu.
Keutamaan itulah yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada
Allah SWT sehingga bahagia di ahkirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu
bagi beliau termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta
kenikmatan yang diperoleh manusia padanya. Itulah yang akan membentuk manusia
shalih, yaitu manusia yang mempunyai kemampuan melaksanakan
kewajiban-kewajibannya kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya kepada manusia
sebagai hamba-Nya.
B.
Kurikulum
Kurikulum
dalam arti yang sempit, yaitu seperangkat ilmu yang diberikan oleh pendidik
kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan.
Pandangan al-ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangan mengenai
ilmu pengetahuan. Menurut Al-Ghazali, secara garis besar ilmu dibagi
menjadi dua bagian yaitu ilmu mu’amalah dan ilmu mukasyafah. Ilmu mu’amalah adalah
pengetahuan yang dapat ditulis secara matematis dan berhubungan dengan
kata-kata yang dapat diterima dan dipelajari orang lain. Ilmu mukasyafah adalah
pengetahuan yang abstrak yang berada di alam ide, pengetahuan ini sulit
dilukiskan denganlisan atau tulisan, tidak terjangau oleh panca indera bahkan
tidak mampu difikirkan dengan akal.
Selanjutnya
Fathiyah Hasan Sulaiman membagi ilmu kedalam beberapa corak:
1) Berdasarkan
pembidangan ilmu dibagi menjadi dua bidang:
a.
Ilmu syari’at sebagai ilmu terpuji, terdiri atas:
·
Ilmu ushul (ilmu pokok): ilmu al-qur’an,
sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma
·
Ilmu furu’ (cabang): fiqh, ilmu hal
ihwal hati dan akhlak.
·
Ilmu pengantar (mukaddimah) ilmu bahasa
dan gramatika.
·
Ilmu pelengkap (mutammimah).
b.
Ilmu bukan syari’ah terdiri atas:
·
Ilmu terpuji : ilmu kedokteran, ilmu
berhitung dan ilmu pustaka.
·
Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan);
kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.
·
Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu
tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari filsafat.
2) Berdasarkan
objek, ilmu dibagi menjadi tiga kelompok.
a. Ilmu
pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak seperti
sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib.
b. Ilmu
pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak, namun kalau banyak lebih
terpuji, seperti ilmu agama dan tentang ilmu beribadat.
c. Ilmu
pengetahuan yang kadar tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela,
seperti dari sifat naturalisme.
3) Berdasarkan
setatus hukum mempelajari yang dikaitkan dengan nilai gunanya dan dapat
digolongkan kepada:
a. fardu
‘ain, yang wajib dipelajari oleh setiap individu, ilmu agama dan
cabang-cabangnya.
b. fardu
kifayah, ilmu ini tidak diwajibkan kepada setiap muslim, tetapi harus ada
diantara orang muslim yang mempelajarinya. Dan jika tidak seorangpun diantara
kaum muslimin dan kelompoknya mempelajari ilmu dimaksud, maka mereka akan
berdosa. Contohnya; ilmu kedokteran, hitung, pertanian dll.
Pembagian
ini bukan berarti terjadi pembatasan dalam menuntut ilmu pengetahuan, hanya
sebagai identifikasi dalam pengenalan berbagai macam disiplin yang ada.
C.
Pendidik
Dalam
proses pembelajaran, menurutnya pendidik merupakan suatu keharusan. Eksistensi
pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan suatu proses pendidikan
anak. Pendidik dianggap sebagai maslikul kabir, bahkan dapat dikatakan bahwa
pada satu sisi, pendidik mempunyai jasa lebih dibandingkan kedua orang tuanya.
Sejalan dengan hal itu beliau berpendapat bahwa pendidik secara umum hendaklah
cerdas dan sempurna intelegensinya, terpuji akhlak dan jasmaninya. Dengan
kesempurnaan intelegensi dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara
mendalam, dan dengan akhlak yang baik dapat menjadi contoh dan teladan bagi
peserta didik, sedangkan dengan sehat jasmani dapat melaksanakan tugas
mengajar, mendidik dan mengarahkan peserta didik.
D.
Peserta Didik
Pendidikan
dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Dalam hal
pendidikan, orang (manusia) yang bergantung disebut murid/peserta didik,
sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru/pendidik. Murid dan guru
inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.
Dalam
menjelaskan peserta didik Al-Ghazali menggunakan dua kata yakni, Al-Muta’allim
(pelajar) dan Tholib Al-Ilmi (penuntut ilmu pengetahuan). Namun, bila kita
melihat peserta didik secara makna luas yang dimaksud dengan peserta didik
adalah seluruh manusia mulai dari awal konsepsi hingga manusia usia lanjut.
Selanjutnya, karena dalam pembahasan ini hanya terkonsentrasi pada wilayah
pendidikan formal maka bahasa peserta didik terbebani hanya bagi mereka yang
melaksanakan pendidikan di lembaga pendidikan sekolah.
Pemikiran
Al-Ghazali yang sangat luas dan memadukan antara dua komponen keilmuan,
sehingga menghantarkan pemahaman bahwa konsep peserta didik menurutnya peserta
didik adalah manusia yang fitrah. Konsepnya berlandaskan pemahamannya terhadap
menafsirkan firman Allah pada surat Ar-Rum ayat 30:
Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan
Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Adapun
kaitannya terhadap peserta didik, bahwa fitrah manusia mengandung pengertian
yang sangat luas. Al-Ghazali menjelaskan klasifikasi fitrah dalam beberapa
pokok sebagai berikut:
·
Beriman kepada Allah.
·
Kemampuan dan kesedian untuk menerima
kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan
pengajaran.
·
Dorongan ingin tahu untuk mencari
hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berfikir.
·
Dorongan biologis yang berupa syahwat
dan ghodlob atau insting.
·
Kekuatan lain lain dan sifat-sifat
manusia yang dapat dikembangkan dan disempurnakan.
Dengan
demikian konsep fitrah yang diletakkan Al-Ghazali dalam memahami peserta didik
masih memiliki relevansi dengan dunia pendidikan modern dalam hal sifat-sifat
pembawaan, keturunan dan insting manusia. Hanya saja, dalam hal ini
pandangan Al-Ghazali lebih terkonsentrasi pada nilai moral, belajar merupakan
salah satu bagian dari ibadah guna mencapai derajat seorang hamba yang tetap
dekat (taqarrub) dengan khaliknya. Maka dari itu, seorang peserta didik harus
berusaha mensucikan jiwanya dari akhlak yang tercela.
Selanjutnya
syarat yang mendasar bagi peserta didik seperti diatas mendorong kepada
terwujudnya syarat dan sifat lain sebagai seorang peserta didik, syarat- syarat
tersebut antara lain:
1) Peserta
didik harus memuliakan pendidik dan bersikap rendah hati atau tidak takabur. Hal
ini sejalan dengan pendapat al- ghazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu
merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan yang tinggi dan
bimbingan dari pendidik.
2) Peserta
didik harus merasa satu bangunan dengan peserta didik lainnya dan sebagai satu
bangunan maka peserta didik harus saling menyayangi dan menolong serta berkasih
sayang sesamanya.
3) Peserta
didik harus menjauhi diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat
menimbulkan kekacauan dalam pikiran
4) Peserta
didik harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat, melainkan
ia harus mempelajari berbagai ilmu lainnya dan berupaya sungguh- sungguh
mempelajarinya sehingga tujuan dari setiap ilmu tesebut tercapai.
Abidin
ibnu Rusn, dalam bukunya menjelaskan syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi
oleh peserta didik dengan mengacu dari pemahaman pemikiran Al-Ghazali sebagai
berikut:
1) Belajar
merupakan proses jiwa.
2) Belajar
menuntut konsentrasi
3) Belajar
harus didasari sikap tawadhu’
4) Belajar
bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya.
5) Belajar
harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang di pelajari
6) Belajar
secara bertahap
7) Tujuan
belajar untuk berakhlakul karimah
Oleh
karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat
mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yang hal ini
berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu
berkedudukan sebagai murid.
E.
Metode Dan Media
Mengenai
metode dan media yang dipergunakan dalam proses pembelajaran, menurut
al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam
rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton,
demikian pula media atau alat pengajaran.
Metode yang bisa digunakan, misalnya ia menggunakan metode mujahadah dan riyadhah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan dan nasihat, dan tidak kalah pentingnya adalah dengan keteladanan. Sedangkan media/alat beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak mulia.
Metode yang bisa digunakan, misalnya ia menggunakan metode mujahadah dan riyadhah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan dan nasihat, dan tidak kalah pentingnya adalah dengan keteladanan. Sedangkan media/alat beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak mulia.
2.3. Aktualisasi Pemikiran
Al-Ghazal Tentang Pendidikan
Pemikiran
Al-Ghazali tentang pendidikan khususnya relah tertulis dan tersusun dengan
lengkap walaupun secara global telah tercantum dalam karya monumentalnya ‘ihya’
ulumuddin”. Secara aktual, konsep Al-Ghazali tentang pendidikan telah dilandasi
oleh pemikirannya terhadap manusia yang fitrahnya tidak akan berubah sehingga
konsepnya selalu actual dan tidak akan pernah usang. Dan konsep tersebut
merupakan jawaban yang dibutuhkan oleh pendidikan dewasa ini.
Sistem
pendidikan Al-Ghazali meruoakan sistem pendidikan yang sedang dicita-citakan
bagi perbaikan sistem yang sedang rusak. Pandangnya terhadap ilmu menunjukkan
bukti secara integral dari perpaduan sistem pendidikan dewasa ini, yakni sistem
islam dan sekuler, maka pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan ini dapat
diterapkan dalam dunia pendidikan. Sekarang akan mampu mengahasilkan
insan-insan, berilmu penegtahuan yang tinggi dan juga beriman, kreatif dan
terampil jugaberakhlak mulia, sukses dunia juga bebahagia di akhirat. Usaha
menampilakan pendidikan Al-Ghazali dan mengembangkannya dalam dunia pendidikan
dewasa ini merupkan sustu keharusan bagi ilmuwan, filosof maupun cendekiawan
muslim. Terutama bagi mereka yang lansung bergerak di bidang pendidikan. Tetapi
hal ini tergantung padaketqjaman wawsan mereka terhadap islam motivasinya, juga
demi islam, bukan demi kepentingan materi, egois, atau tujuan nasional dan
lain-lain juga kesadaran mereka akan tantangan-tantangan yang dihadapi dunia
pendidikan dewasa ini, serta kesadaran mereka terhadap kemampuan Al-Ghazali
dalam menjawab tantangan- tantangan tersebut melalui konsep pendidikannya.
Selain
itu Al-Ghazali juga memaparkan empat macam pendidikan yakni pendidikan akal.
Agama, akhlak dan jasmani. Dari situ pendidikan akhlaklah yang menjadi puncak
atau intinya. Artinya keempat macam pendidikan yang merupakan kesatuan dalam
sistem pendidikan islam, pendidikan akhlaklah sebagai jiwanya. Pendidikan
inilah yang sebenarnya menjadi tujuan dari seluruh pendidikan yang ada. Dari
sinilah para guru muslim sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengantar
bukanlah untuk memenuhi otak murid dengan berbagai ilmu penegtahuan semata mata
tanapa mengesampinkan itu maka pendidikan akhlaklah manusialah yang dapat
menentukan hancur atau utuhnya suatu bangsa. Al-Syauqi dalam sya’irnya
menyatakan :
“suatu
bangssa itu tetap tegak selama akhlaknya tetap baik. Bila akhlak mereka telah
rusak, maka sirnalah bangsa itu”. (athiyah Al-Abrasyi, 1990: 104).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pendidikan
merupakan jalan utama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendidikan yang
diharapkan Al-Ghazali, tidak hanya bersifat ukhrowi, bahkan ia mengatakan dunia
merupakan manifestasi menuju ke masa depan. Berangkat dari pemahaman tersebut
dapat disimpulkan juga konsep peserta didik. Menurutnya, peserta didik
sebaiknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Belajar
merupakan proses jiwa
2) Belajar
menuntut konsentrasi
3) Belajar
harus didasari sikap tawadhu’
4) Belajar
bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya.
5) Belajar
harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang di pelajari
6) Belajar
secara bertahap
7) Tujuan
belajar untuk berakhlakul karimah.
Pemikiran
pendidikan al-Ghazali sejalan dengan filsafatnya yang religius dan sufistik.
Dia merumuskan tujuan pendidikan secara jelas sesuai dengan filsafatnya,
kemudian menerangkan pengetahuan-pengetahuan yang perlu diajarkan kepada anak yang
sedang tumbuh agar dapat mencapai tujuan tersebut. Diterangkan pula bagaimana
seharusnya hubungan antara guru dan murid, serta prinsip-prinsip yang harus
dipegangi seorang guru dalam menunaikan tugasnya. Di samping ia telah
merumuskan metode mengajar dengan garis amat tegas. Dengan itu, al-Ghazali
telah meletakkan sistem pendidikan yang sempurna yang ditentukan dan dirumuskan
atas dasar filsafat yang dianut.
DAFTAR
PUSTAKA
Dewan
Redaksi. tt. Ensiklopedi Islam Jilid 2. Jakarta: Van Hoeve
Jahja,
H.M Zurkani. 2009. Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Nasution,
Muhammad Yasir. 2002. Manusia Menurut al-Ghazali. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Nata,
Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Rusn,
Abidin Ibnu. 2009. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suwito
dan Fauzan. 2003. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung:
Angkasa
No comments:
Post a Comment